Tafsir Siasat Prabowo untuk Gaza
Oleh: Cakra Achmad
Inisiator Global Volunteer Hub dan Pendiri Relawan Gemma 9
Luminasia, Makassar, 13 April 2025 — Presiden Prabowo Subianto bukan tanpa kontroversi. Langkahnya menawarkan evakuasi medis dan pendidikan sementara bagi 1.000 warga Gaza yang terdampak pemboman massif dan agresi militer Israel memicu diskusi hangat, bahkan tudingan tajam. Sebagian menilai ini langkah strategis dan penuh empati, namun tak sedikit pula yang mencium aroma siasat geopolitik global yang licik. “Pengosongan Gaza” menjadi frasa yang kembali menggema—menyeret nama Indonesia dalam pusaran isu global yang membelah dunia Islam.
Tuduhan itu tidak main-main. Sebagian pengkritik menyebut Prabowo seolah menjadi pion dari skenario yang dibisikkan Washington dan Tel Aviv: mengosongkan Gaza dari rakyatnya dengan kedok kemanusiaan. Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Narasi “evakuasi sementara” telah digunakan oleh kekuatan besar sebagai pintu masuk pengusiran permanen, seperti sejarah panjang eksodus Palestina pasca-Nakba dan berbagai operasi militer yang menyertakan relokasi warga sipil.
Namun, membaca rencana Prabowo hanya dalam kerangka kecurigaan politik adalah kegagalan dalam melihat sisi krusial dari respon kemanusiaan: kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan nyawa.
Prabowo, dalam beberapa kesempatan, termasuk dalam talk show dengan salah satu media Turkiye di sela kunjungannya ke Timur Tengah, telah menegaskan bahwa evakuasi ini bersifat sementara dan bersyarat. Mereka yang dievakuasi—anak-anak, lansia, korban luka berat, dan kelompok rentan—akan mendapatkan perawatan medis dan pendidikan di Indonesia, dengan jaminan untuk kembali ke Gaza setelah situasi memungkinkan.
Bagi mereka yang pernah bekerja dalam operasi kemanusiaan di zona konflik, pendekatan ini tidak asing. Ini adalah bentuk affirmative action—tindakan afirmatif yang lazim digunakan dalam respon krisis. Menyelamatkan satu nyawa dari reruntuhan bom adalah tindakan yang sah secara moral dan legal. Dalam kerja kemanusiaan, one life saved is worth every effort.
Sayangnya, niat ini justru dikaburkan oleh narasi geopolitik dan semangat ideologis yang kadang berlebihan. Kita lupa bahwa ada anak-anak yang kehilangan kakinya, ibu yang kehilangan penglihatan, dan keluarga yang tidur di bawah terpal penuh debu dan serpihan logam. Mereka tidak memiliki kemewahan menunggu kesepakatan gencatan senjata atau sidang-sidang diplomatik di Jenewa.
Ini Bukan Skenario Zionis, Ini Respons Darurat. Prabowo bukan sekadar bermain citra. Tampaknya, jiwa tentaranya belum sirna. Ia paham, bahwa dalam perang, waktu adalah musuh terbesar. Dalam konteks ini, evakuasi adalah bagian dari sandi yudha—siasat medan tempur, bukan untuk menundukkan lawan, melainkan untuk menyelamatkan korban.
Ia bertindak di tengah kegentingan, bukan dalam skenario ideal. Dan di situlah perbedaannya: Prabowo bukan sekadar pemimpin negara, ia adalah Presiden dari negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Maka, tindakannya bukan tanpa pertimbangan strategis. Evakuasi 1.000 warga Gaza bisa dibaca sebagai intervensi kemanusiaan berdampak ganda—menyelamatkan mereka yang terluka, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai aktor moral dalam isu Palestina.
Membaca Kembali Siasat “Hijrah”
Bagi yang khawatir bahwa langkah ini adalah “penyerahan tanah Gaza” dalam bentuk baru, barangkali perlu membuka kembali lembaran sejarah: Rasulullah SAW pun pernah hijrah dari Makkah ke Madinah, bukan untuk menyerah, tetapi untuk menyelamatkan perjuangan. Dalam perspektif iman, Allah Subhana wa Taala sendiri adalah sebaik-baik pembuat makar. Strategi untuk menyelamatkan bukanlah pengkhianatan, tetapi bagian dari taktik panjang menuju kemenangan.
Dengan demikian, langkah Prabowo bisa dibaca sebagai tafsir kontemporer dari strategi penyelamatan umat. Bukan untuk membiarkan tanah Gaza kosong, tetapi untuk mencegah agar tidak lebih banyak lagi yang menjadi mayat tak dikenal di bawah reruntuhan rumah dan sekolah.
Sebagai relawan kemanusiaan yang telah bekerja di zona konflik, saya melihat ini sebagai tindakan yang sangat mungkin dilakukan oleh siapapun yang memiliki sumber daya, keberanian, dan niat baik. Bedanya, Prabowo memiliki semua itu, ditambah otoritas negara. Langkahnya membuka jalur baru bagi diplomasi kemanusiaan: bahwa negara dapat bergerak tidak hanya dengan kecaman, tetapi juga dengan tindakan konkret.
Sebelum kita menilai langkah ini sebagai bentuk kelemahan atau bahkan pengkhianatan, barangkali kita perlu duduk sejenak, mendengarkan tangisan para korban yang tak sempat direkam media. Mungkin di antara mereka, ada seorang anak yang kelak akan kembali ke Gaza dan berkata, “Aku diselamatkan oleh bangsa Indonesia.”
Dan di sana, perjuangan untuk Palestina akan menemukan napas baru—bukan dalam slogan, tetapi dalam kehidupan nyata yang sempat diselamatkan. Free Palestine!